Kisah Imam Abu Hanifah salah satunya adalah pernah membela kaum perempuan. Sebagai seorang ahli fiqih yang masyhur, Imam Abu Hanifah tidak sembarangan dalam memberikan fatwa atau pandangan hukum. Imam Abu Hanifah merupakan ulama besar penggagas mazhab Hanafi. Mazhab ini lebih menekankan pada rasionalitas atau ahlu ra’yi.
Terlepas dari cara pengambilan suatu hukum, Imam Syafi’i pernah memberikan testimoni terhadap kealiman Imam Hanafi tersebut. Imam Syafi’i mengutarakan bahwa siapa yang ingin memperdalami masalah fiqih, maka jadilah pengikut Abu Hanifah.
Testimoni lain juga datang dari Imam Malik (penggagas mazhab Maliki) yang mengatakan bahwa jikalau Imam Hanafi mengeluarkan sebuah pendapat, bahwa sebuah alat (tertentu) itu terbuat dari emas, maka pastilah beliau sanggup mempertanggungjawabkan pendapat tersebut.
Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal (penggagas mazhab Hambali) mengatakan bahwa ia belum pernah melihat seseorang yang lebih cerdas dan rendah hati seperti Imam Abu Hanifah.
Baca Juga: Lafaz Niat Shalat Jenazah dan Shalat Jenazah
Dari testimoni-testimoni tersebut sangat jelaslah bahwa keilmuan Abu Hanifah tidak perlu diragukan lagi.
Imam Abu Hanifah bukan saja seorang ulama terkenal. Ia juga seorang pedagang kain yang sukses di kotanya. Dalam hal urusan pemerintahan, ia menjadi sosok yang kritis terhadap pemerintah.
Ia hidup pada masa pemerintahan Abu Ja’far Abdullah bin Muhammad al-Mansur (7120775 M). Abu Ja’far Abdullah merupakan khalifah kedua dari Dinasti Abbasiyah. Khalifah sangat takzim kepada Imam Abu Hanifah. Ia sering mengundang sang imam untuk meminta nasihatnya. Khalifah selalu menghadiahi Imam Hanafi dengan hadiah-hadiah yang mahal. Tapi Imam Abu Hanifah selalu menolak pemberian sang sultan.
Pembela Kaum Perempuan
Ada sebuah kisah di mana Imam Abu Hanifah berpihak kepada kaum perempuan. Pada masa itu sangat langka ada ulama yang membela kaum perempuan.
Suatu hari, khalifah dan istrinya bertengkar hebat karena masalah sepele. Sang khalifah ternyata ingin menikahi perempuan lain. Istri sang khalifah meminta orang lain untuk menyelesaikan pertengkaran tersebut.
Usulan ini diterima oleh Abu Ja’far al-Manshur. Ia bertanya kepada istrinya siapa yang akan menengahi masalah mereka tersebut. Kontan saja sang istri menjawabnya dengan Imam Abu Hanifah.
Mendengar nama tersebut, sang khalifah setuju dan langsung memanggil sang imam untuk menyelesaikan kasus tersebut. Lalu ia mengundang Imam Hanafi tanpa menyampaikan perihal undangan tersebut.
Beberapa waktu kemudian, Imam Abu Hanifah tiba di istana. Ia disambut dengan penghormatan. Awalnya mereka berbincang santai sambil menikmati hidangan istana. Selanjutnya barulah permasalah serius disampaikan sang khalifah kepada Imam Hanafi.
“Wahai, Imam Abu Hanifah. Akhir-akhir ini pikiranku kacau. Ada seorang perempuan merdeka yang membuatku jatuh cinta,” ungkap sang khalifah. “Aku inging bertanya kepadamu, berapakah batasan seorang laki-laki bisa menikahi perempuan dalam satu waktu?” sambung Abu Ja’far al-Manshur.
“Empat,” jawab sang imam dengan singkat dan tegas.
“Lalu berapa banyak seorang laki-laki bisa menikahi budak perempuan?”
“Terserah, berapa saja yang dia inginkan.”
“Apakah pendapat ini bisa ditentang?” tanya sang khalifah penuh kemenangan.
“Tidak!” Imam Abu Hanifah menjawab kembali dengan sangat tegas.
Jawaban sang imam ini membuat khalifah senang, lalu ia memanggil istrinya. Sang istri mendatangi khalifah.
Tiba-tiba Imam Abu Hanifah mengatakan, “Aturannya memang demikian, wahai khalifah. Pandangan yang saya berikan tadi hanya dibolehkan pada lelaki yang bisa berlaku adil. Jika tidak mampu berlaku adil, maka dia hanya boleh memiliki satu saja istri.”
Sang khalifah tertegun mendengar penjelasan tersebut. Ia kini tampak muram, sedangkan istrinya tersenyum sumringah.
Karena tidak ada lagi yang perlu diperdebatkan, Imam Abu Hanifah kembali ke rumahnya. Seperti biasanya, sang khalifah meskipun terlihat muram tetap memberikan hadiah berharga kepada sang imam.
Sayangnya, lagi-lagi pemberian sang khalifah ditolak oleh Imam Abu Hanifah. []