Pilkada di Aceh dalam Konteks Kelucuan dan Humor Politik

Pilkada di Aceh
Pilkada di Aceh

Pilkada di Aceh, sebagai sebuah proses demokrasi, sering kali tidak hanya diwarnai oleh keseriusan politik, tetapi juga oleh momen-momen lucu yang tak terduga. Setiap pemilihan umum kepala daerah menghadirkan calon-calon gubernur yang berlomba-lomba menarik perhatian masyarakat. Dalam upaya untuk memenangkan hati pemilih, para kandidat sering kali meluncurkan kampanye yang penuh dengan kreativitas.

Pada saat debat calon gubernur Pilkada di Aceh, keseriusan dan kelucuan juga kerap dipertontonkan oleh calon gubernur kita maupun tim sukses yang berada di bawah panggung debat. Kelucuan yang terbaru saat debat ketiga yang berlangsung di The Pade Hotel, pada Selasa )19/11/2024). Debat belum sampai ke substansi yang penting, tim sukses kubu 02 membuat kegaduhan. Debat ketiga itu pun ricuh dan terpaksa dihentikan.

Persoalannya sederhana bagi tim 01, tapi menjelimet bagi kubu 02 yang menuduh Bustami telah melanggar aturan debat dengan menggunakan “mic hollyland”. Mereka menduga mic tersebut dapat memberikan sinyal suara yang dibutuhkan oleh Bustami ketika menjawab setiap pertanyaan dalam debat tersebut.

Kontan saja kejadian ini menjadi bahan lelucon bagi tim 01 dengan menyebut kubu 02 sebagai “awak hana sikula” atau orang yang tidak berpendidikan. Menurut tim sukses Bustami, mic hollyland itu berfungsi sebagai microphone untuk menjernihkan suara bukan untuk mengirim sinyal suara. Mic itu dikaitkan ke kerah baju Bustami.

Dalam kesempatan lain, saat melakukan kampanye, Muzakkir Manaf menyerang balik sebutan “awak hana sikula” dengan “awak hanjeut beuet” atau orang yang tidak bisa mengaji. Sebutan ini ditujukan kepada Bustami yang memang agak terbata-bata dalam membaca ayat suci Al-Quran beberapa waktu lalu.

Di media sosial, perang meme antar pendukung calon gubernur Aceh ini semakin panas. Kedua kubu saling menyerang. Padahal mereka adalah teman ngopi di kala senggang. Ada juga pegiat media sosial yang tidak berafiliasi kepada kedua kubu ini membuat kalimat-kalimat sindiran pedas kepada kedua kandidat gubernur tersebut.

Beda lagi dengan perilaku masyarakat dalam menanggapi insiden tersebut dengan membawa dimensi humor tersendiri. Beberapa masyarakat menunjukkan kreativitas dengan membuat meme lucu dari foto-foto calon mereka, memperlihatkan bagaimana mereka melihat situasi politik dengan ringan. Humor ini bisa juga menjadi cara masyarakat untuk mengatasi ketegangan yang mungkin muncul dari politik. Saat calon kepala daerah terlibat dalam berbagai insiden lucu saat kampanye atau debat, hal ini justru menambah semarak dunia media sosial. Begitu banyak kejadian yang mungkin tampak sepele, namun memiliki dampak besar dalam menggambarkan dinamika yang terjadi saat Pilkada di Aceh berlangsung.

Pilkada di Aceh yang Menghibur

Bagi saya pribadi, netralitas dalam Pilkada di Aceh masih teguh dalam benak saya. Pilkada Aceh 2024 saya anggap sebagai hiburan karena tingkah laku para pendukung kedua kubu. Masing-masing kubu berusaha mengemas kampanye dengan apik untuk menarik simpati rakyat Aceh. Walakin, tidak sedikit pula para buzzer politik yang meramu konten propaganda untuk menjatuhkan pihak lawan.

Sebagai pemilih yang cerdas, kita harus tahu mana konten yang lurus dan mana konten kampanye yang buruk. Konten-konten yang menggiring opini miring sebaiknya dibuang saja. Pemilih cerdas tentu akan menggali visi dan misi para kandidat. Sayangnya, konten-konten tak bermutu yang menjatuhkan kandidat lawan terus lahir dari para buzzer ataupun simpatisan ekstrem keras.

Karena ulah mereka inilah lahir kelompok-kelompok apatis yang tidak peduli terhadap Pilkada. Kelompok apatis ini barangkali memilih untuk tidak memberikan suara mereka kepada para kandidat gubernur. Sungguh sangat disayangkan jika kelompok apatis ini jumlahnya lebih besar. Oleh karena itu, konten-konten dalam kampanye di media sosial perlu diperbaiki kualitasnya.

Pilkada Aceh dari masa ke masa sangatlah menghibur. Apalagi saat partai lokal mendominasi pemilihan kepala daerah. Partai lokal yang terdiri dari para kombatan sering dianggap sebagai kelompok keras. Hampir di setiap daerah, partai ini berhasil memenangkan kadernya untuk duduk sebagai bupati maupun walikota.

Sebutan “awak hana sikula’ untuk kelompok ini bukan terjadi kali ini saja. Sebutan ini sering keluar dari mulut masyarakat. Bahkan beberapa periode mereka menduduki posisi penting di kabupaten/kota, masyarakat masih menganggap belum ada kontribusi besar dari mereka. Kejadian-kejadian seperti ini terus terulang dan menjadi hiburan tersendiri di setiap Pilkada berlangsung.

Pilkada, Melepas Stres dengan Tawa

Proses pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Aceh biasanya diwarnai dengan ketegangan politik. Di tengah suasana yang penuh tekanan, humor sering kali muncul sebagai pelarian bagi masyarakat. Tawa yang dihasilkan dari guyonan atau meme terkait Pilkada memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk melepaskan stres dan menikmati momen sambil tetap mengikuti perkembangan politik yang ada.

Meme lucu dan guyonan yang beredar di berbagai platform media sosial menjadi salah satu cara efektif untuk menyampaikan pesan politik dengan cara yang lebih ringan. Hal ini tidak hanya membuat perbincangan politik lebih menarik, tetapi juga menciptakan ruang bagi masyarakat untuk berinteraksi dan merespons situasi dengan cara yang kreatif. Masyarakat tidak jarang menggunakan meme untuk menyindir kandidat atau menciptakan momen-momen lucu yang berhubungan dengan pemilu. Melalui humor, setiap orang dapat memberikan sudut pandang mereka tanpa harus terjebak dalam ketegangan politis yang bisa menjadikan komunikasi menjadi argumentatif.

Contohnya, berbagai meme tentang sebutan “awak hana sikula” dan “awak hanjeut beuet” kerap mewarnai jagad media sosial. Hal ini menciptakan kesadaran dan keterlibatan yang dinamis dalam diskusi tentang pemilihan. Bagi saya, humor tersebut membantu mengurangi ketegangan di antara pendukung berbagai kandidat dan mendorong sikap saling menghormati di antara mereka yang memiliki pandangan berbeda. Dampak dari humor ini tidak hanya terbatas pada hiburan, tetapi juga dapat membentuk cara pandang masyarakat terhadap pemilu. Dengan menyoroti sisi lucu dari proses politik, masyarakat menjadi lebih terbuka untuk berdiskusi dan berbagi pandangan mereka tanpa rasa takut atau canggung. []

Follow, like, and share -->
Pin Share

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *